Sunan kudus
Sunan Kudus dilahirkan
dengan nama Sayyid Ja'far
Shadiq Azmatkhan. Dia adalah
putra dari pasangan Sunan
Ngudung (Sayyid Utsman Haji)
[1] dengan Syarifah Dewi Rahil
binti Sunan Bonang. Lahir pada
9 September 1400M/ 808
Hijriah. Bapaknya yaitu Sunan
Ngudung adalah putra Sultan
di Palestina yang bernama
Sayyid Fadhal Ali Murtazha
(Raja Pandita/Raden Santri)
yang berhijrah fi sabilillah
hingga ke Jawa dan sampailah
di Kekhilafahan Islam Demak
dan diangkat menjadi Panglima
Perang.
Jati Diri Sunan Kudus
Nama Ja'far Shadiq diambil dari
nama datuknya yang bernama
Ja'far ash-Shadiq bin
Muhammad al-Baqir bin Ali bin
Husain bin Ali bin Abi Thalib
yang beristerikan Fatimah az-
Zahra binti Muhammad.
Sunan Kudus sejatinya
bukanlah asli penduduk
Kudus, ia berasal dan lahir di
Al-Quds negara Palestina.
Kemudian bersama kakek,
ayah dan kerabatnya berhijrah
ke Tanah Jawa.
Nasab Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra
Sunan Ngudung atau Raden
Usman Haji, dengan Syarifah
Ruhil atau Dewi Ruhil yang
bergelar Nyai Anom Manyuran
binti Nyai Ageng Melaka binti
Sunan Ampel. Sunan Kudus
adalah keturunan ke-24 dari
Nabi Muhammad. Sunan
Kudus bin Sunan Ngudung bin
Fadhal Ali Murtadha bin
Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin
Jamaluddin Al-Husain bin
Ahmad Jalaluddin bin Abdillah
bin Abdul Malik Azmatkhan
bin Alwi Ammil Faqih bin
Muhammad Shahib Mirbath
bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi
bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-
Muhajir bin Isa bin Muhammad
bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far
Shadiq bin Muhammad Al-
Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Al-Husain bin Sayyidah
Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah.[2]
Sunan Kudus Dalam Babad
Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi (selanjutnya
disebut BTJ) adalah terjemahan
dari Punika Serat Babad Tanah
Jawi Wiwit Saking Nabi Adam
Doemoegiing Taoen 1647 yang
disusun oleh W. L. Olthof di
Leiden, Belanda, pada tahun
1941. Seperti pada pengertian
babad pada umumnya, di sini
terdapat cerita-cerita tentang
pendirian sebuah negara
(kerajaan) dan peristiwa-
peristiwa yang terjadi di seputar
kerajaan tersebut.
“…Orang di tanah Jawa taat
serta menganut agama Islam.
Mereka bermusyawarah akan
mendirikan masjid di Demak.
Para wali saling berbagi tugas,
semua sudah siap sedia. Hanya
Sunan Kali Jaga yang masih
ketinggalan, bagian
garapannya belum berbentuk,
sebab sedang tirakat di
Pamantingan. Sekembalinya ke
Demak, masjid sudah akan
didirikan. Sunan Kali Jaga
segera mengumpulkan sisa-sisa
kayu bekas sudah menjadi
tiang.Pagi harinya tanggal 1
bulan Dulkangidah masjid
didirikan dengan sengkalan
tahun 1428. Kiblat di masjid
searah dengan ka’bah di
Mekkah. Penghulunya Sunan
Kudus. Setelah beberapa Jumat
berdirinya masjid tadi, ketika
para wali sedang berdzikir
bersama di masjid itu, Sunan
Kudus duduk khusuk
bertafakur di bawah beduk,
tiba-tiba ada bungkusan jatuh
dari atas-buku kulit kambing,
di dalamnya ada sajadah serta
selendang Kanjeng Rasul.” [3]
“Pada waktu itu banyak orang
Jawa yang belajar agama Islam,
kedigdayaan, dan kekuatan
badan. Ada dua orang guru
yang terkenal, yaitu Sunan Kali
Jaga dan Sunan Kudus. Sunan
Kudus itu muridnya tiga orang,
yaitu Arya Penansang di Jipang,
Sunan Prawata, dan Sultan
Pajang. Yang paling disayang
adalah Arya Penansang.
Waktu itu Sunan Kudus sedang
duduk-duduk di rumahnya
dengan Pangeran Arya
Penansang, Sunan Kudus
berkata kepada Arya
Penansang, “Orang membunuh
sesama guru itu, hukumnya
apa?” Perlahan jawab Arya
Penangsang, “Hukumnya harus
dibunuh, tetapi saya belum
tahu siapa yang berbuat
demikian itu.” Sunan Kudus
berkata,”Kakakmu di Prawata.”
Arya Penansang setelah
mendengar perintah Sunan
Kudus, bersedia membunuh
Sunan Prawata. Ia lalu
mengutus abdi pengawalnya
bernama Rangkud dan
diperintah untuk membunuh
Sunan Prawata. Rangkud lalu
berangkat. Sesampai di
Prawata ketemu dengan Sunan
Prawata yang sedang sakit dan
bersandar pada istrinya.
Setelah melihat Rangkud
Sunan Prawata bertanya,
“Kamu itu orang siapa?”
Rangkud menjawab, “Saya
adalah utusan Arya Penansang,
memerintahkan untuk
membunuhmu.” Sunan
Prawata berkata, “Ya, terserah,
tetapi saya sendiri sajalah yang
engkau bunuh, jangan
mengikutkan orang lain.”
Rangud lalu menusuk sekuat-
kuatnya. Dada Sunan Prawata
tembus sampai ke
punggungnya serta menembus
dada istrinya. Sunan Prawata
setelah melihat istrinya terluka,
segera mencabut kerisnya yang
bernama Kyai Betok, lalu
dilemparkan ke Rangkud. Si
Rangkud tergores oleh
kembang kacang (hiasan pada
pangkal keris), ia jatuh di tanah
lalu tewas. Sunan Prawata dan
isterinya juga meninggal dunia.
Meninggalnya ber-sinengkalan
tahun 1453. Arya Penangsang
begitu tega membunuh Sunan
Prawata sebab ayahnya juga
dibunuh oleh Sunan Prawata,
saat pulang dari sholat Jum'at.
Ia dicegat di tengah jalan oleh
utusan Sunan Prawata
bernama Sura Yata. Ki Sura
Yata tadi juga sudah dibunuh
oleh teman ayahnya Arya
Jipang.
Sunan Prawata tadi mempunyai
saudara perempuan namanya
Ratu Kali Nyamat. Dia begitu
tidak terima atas kematian
saudara laki-lakinya itu. Lalu
berangkat ke Kudus bersama
suaminya berniat minta
keadilan kepada Sunan Kudus.
Lalu jawab Sunan Kudus,
“Kakakmu itu sudah hutang
pati pada Arya Penangsang.
Sekarang tinggal membayar
hutang itu saja.” Ratu Kali
Nyamat mendengar jawaban
Sunan Kudus itu sangat sakit
hatinya. Lalu kembali pulang.
Di tengah jalan dibegal
utusannya Arya Penansang.
Laki-lakinya dibunuh. Ratu Kali
Nyamat sangat terpukul
hatinya. Sebab baru saja
kehilangan saudaranya, lalu
kehilangan suaminya. Ia jadi
sangat menderita. Lalu bertapa
telanjang di Bukit Dana Raja.
Sebagai ganti kain untuk
menutup auratnya adalah
rambutnya yang diurai. Ratu
Kalinyamat berprasetia tidak
mau memakai kain selama
hidup jika Arya Penansang
belum meninggal. Ia bernadar
barangsiapa dapat membunuh
Arya Jipang, dia akan mengabdi
kepadanya dan akan
menyerahkan seluruh
kekayaannya.
Pada suatu ketika Sunan Kudus
sedang berbincang-bincang
dengan Arya Penangsang,
Sunan Kudus berkata,
“Kakakmu Sunan Prawata dan
Kali Nyamat sekarang sudah
mati, tapi belum lega rasanya
kalau belum menguasai tanah
Jawa semua. Jika masih ada
adikmu Sultan Pajang saya kira
tidak mungkin bisa jadi raja,
sebab dia adalah penghalang.”
Arya Penansang berkata, “Jika
diperkenankan atas izin Sunan
Kudus, Pajang akan saya
gempur dengan perang, adik
saya di Pajang akan saya
bunuh supaya tidak ada
penghalang.” Sunan Kudus
menjawab, “Maksudmu itu
saya kurang setuju sebab akan
merusak negara serta banyak
korban. Adapun maksud saya,
kakakmu di Pajang bisa mati,
secara diam-diam saja, jangan
diketahui banyak orang.” Arya
Penangsang menjawab sangat
setuju. Lalu mengutus abdi
pengawal untuk menculik dan
membunuh Sultan Pajang.
Utusan segera berangkat.
Datang di Pajang tengah
malam, lalu masuk ke dalam
istana. Sultan Pajang sedang
tidur berselimut kain kampuh,
jarik/kain sarung. Para istrinya
tidur di bawah. Utusan
menerjang dan menusuk
dengan sekuat tenaga. Sultan
Pajang tidak mempan (kebal),
masih enak tidur saja. Kain
yang digunakan untuk
berselimut itu pun tidak
tertembus. Para isrti terkejut,
bangun, menangis, dan
menjerit. Sultan Pajang terkejut
juga dan bangun. Kain selimut
terlempar menerpa para
utusan itu, mereka terjatuh
terkapar di tanah, tiak ada
yang dapat pergi….” [4]
Asal-Usul Nama Kota Kudus
Dahulu kota Kudus masih
bernama Tajug. Kata warga
setempat, awalnya ada Kyai
Telingsing yang
mengembangkan kota ini.
Telingsing sendiri adalah
panggilan sederhana kepada
The Ling Sing, seorang Muslim
Cina asal Yunnan, Tiongkok. Ia
sudah ada sejak abad ke-15
Masehi dan menjadi cikal bakal
Tionghoa muslim di Kudus.
Kyai Telingsing seorang ahli
seni lukis dari Dinasti Sung
yang terkenal dengan motif
lukisan Dinasti Sung, juga
sebagai pedagang dan
mubaligh Islam terkemuka.
Setelah datang ke Kudus untuk
menyebarkan Islam,
didirikannya sebuah masjid dan
pesantren di kampung
Nganguk. Raden Undung yang
kemudian bernama Ja’far
Thalib atau lebih dikenal
dengan nama Sunan Kudus
adalah salah satu santrinya
yang ditunjuk sebagai
penggantinya kelak. [5].
Kota ini sudah ada
perkembangan tersendiri
sebelum kedatangan Ja’far
Shodiq. Beberapa kiah tutur
percaya bahwa Ja’far itu
seorang penghulu Demak yang
menyingkir dari kerajaan. Awal
kehidupan Sunan Kudus di
Kudus adalah dengan berada
di tengah-tengah jamaah
dalam kelompok kecil.
Penafsiran lainnya itu
memperkirakan bahwa
kelompok kecilnya itu adalah
para santrinya sendiri yang
dibawa dari Demak sana,
sekaligus juga tentara yang siap
memerangi Majapahit. Versi
lainnya mereka itu adalah
warga setempat yang
dipekerjakannya untuk
menggarap tanah ladang.
Berarti ada kemungkinan juga
Ja’far memenuhi kebutuhan
hidupnya di Kudus dimulai
dengan menggarap ladang.
Fakta Mengenai Sunan
Kudus
Sunan Kudus berhasil
menampakkan warisan budaya
dan tanda dakwah
islamiyahnya yang dikenal
dengan pendekatan kultural
yang begitu kuat. Hal ini sangat
nampak jelas pada Menara
Kudus yang merupakan hasil
akulturasi budaya antara
Hindu-China-Islam yang sering
dikatakan sebagai representasi
menara multikultural. Aspek
material dari Menara Kudus
yang membawa kepada
pemaknaan tertentu
melahirkan ideologi pencitraan
tehadap Sunan Kudus. Oleh
Roland Barthes disebut dengan
mitos (myth), yang merupakan
system komunikasi yang
memuat pesan (sebuah bentuk
penandaan). Ia tak dibatasi
oleh obyek pesannya, tetapi
cara penuturan pesannya.
Mitos Sunan Kudus selain
dapat ditemui pada
peninggalan benda cagar
budayanya, juga bisa
ditemukan di dalam sejarah,
gambar, legenda, tradisi,
ekspresi seni maupun cerita
rakyat yang berkembang di
kalangan masyarakat Kudus.
Kini ia populer sebagai seorang
wali yang toleran, ahli ilmu,
gagah berani, kharismatik, dan
seniman.
Satu fakta utama yang dapat
masyarakat lihat pada mata
uang kertas Rp. 5.000,00
dengan gambar Menara
Kudus. Ini merupakan suatu
bentuk apresiasi dari Gubernur
Bank Indonesia yang dijabat
oleh Arifin Siregar pada masa
itu. Berikut petikan
sambutannya: “…Kami sewaktu
bertugas sebagai Gubernur
Bank Indonesia mendapat
kesempatan untuk
mengeluarkan uang kertas
Lima Ribu Rupiah dengan
gambar Menara Kudus. Hal ini
kami lakukan antara lain
mengingat keindahan dan
kenggunan Menara Kudus.
Disamping itu Menara Kudus
merupakan salah satu
peninggalan sejarah Indonesia
yang perlu dilestarikan dan
diperkenalkan kepada
masyarakat kita dan juga
khalayak luar negeri.”
Mengenai hari jadi kota Kudus
sendiri (23 September 1549,
berdasarkan Perda No. 11
Tahun 1990 yang diterbitkan
tanggal 6 Juli 1990) memang
tak bisa dilepaskan dari
patriotisme Sunan Kudus
sendiri. Bukti nyatanya dapat
dilihat dalam inskripsi yang
terdapat pada Mihrab di Masjid
Al-Aqsa Kudus yang dibangun
pada 956 H/1549 M oleh
Sunan Kudus. Maka dalam
setiap perayaan hari jadinya tak
pernah lupa semangat dan
patriotisme Sunan Kudus
dalam memajukan rakyat dan
ummatnya.[6]
Menurut Muliadi via Castles
(1982); Ismudiyanto dan
Atmadi (1987); dan Suharso
(1992), menyebutkan bahwa: “
Dalam sejarah, Kudus Kulon
dikenal sebagai kota lama
dengan diwarnai oleh
kehidupan keagamaan dan
adat istiadatnya yang kuat dan
khas serta merupakan tempat
berdirinya Masjid Menara dan
Makam Sunan Kudus; serta
merupakan pusat tempat
berdirinya rumah-rumah asli
(adat pencu). Sementara
Kudus Wetan terletak di
sebelah Timur Sungai Gelis,
dan merupakan daerah pusat
pemerintahan, pusat
transportasi, dan daerah pusat
perdagangan.”
Salah satu bentuknya ialah
tarian Buka Luwur yang
menggambarkan sejarah
perjalanan masyarakat Kudus
sepeninggal Sunan Kudus
hingga terbentuk satuan
wilayah yang disebut Kudus.
Tradisi ini telah menjadi
kegiatan rutin pengurus
Menara Kudus setiap tanggal
10 Muharram dengan
dukungan umat Islam baik di
Kudus maupun sekitarnya. Ini
merupakan prosesi pergantian
kelambu pada makam Sunan
Kudus diiringi doa-doa dan
pembacaan kalimah toyyibah
(tahlil, shalawat, istigfar, dan
surat-surat pendek al-quran
yang sebelumnya telah
didahului dengan khataman
quran secara utuh).
Ada lagi tradisi Dhandangan
yang digelar setahun sekali
menjelang bulan Ramadhan.
Pada masa Sunan Kudus tradisi
ini ditandai dengan pemukulan
bedug di atas Menara Kudus
(berbunyi dhang dhang
dhang). Tradisi ini pun
memperkuat eksistensi Sunan
Kudus. Selain itu masyarakat
Kudus hingga saat ini tak
pernah berani menyembelih
sapi/lembu sebagai suatu
penghormatan kepada Sunan
Kudus yang mana dakwahnya
menekankan unsure
kebijaksanaan dan toleransi
karena kala itu masyarakat
Kudus masih beragama Hindu
yang mensucikan hewan
lembu. Kini, setiap Kamis
malam makam Kanjeng Sunan
Kudus selalu ramai oleh
peziarah dengan beragam latar
beragam latar belakang dan
etnis, dari berbagai daerah.
Mereka datang dengan
beragam cara, baik sendiri
maupun bersama rombongan.
Pada momen-momen tertentu
ada yang datang dari
mancanegara.[7]
Fenomena pencitraan ini
berhasil menjadi sumber
penggerak dalam bertindak
(untuk beberapa hal),
Bourdieu menyebutnya sebagai
“tindakan yang bermakna”
baik keberagamaan maupun
fenomena budaya lainnya.
Citra Sunan Kudus dalam
masyarakat Kudus telah
melewati kuasa dan
pertarungan sistem tanda yang
merekontruksi budaya lokal
mereka. Suatu tandanya dapat
dihubungkan dengan tanda
lain yang dapat ditemui dalam
model keberagamaan maupun
kontruksi budaya masyarakat
agama (Islam). Jadilah mereka
memiliki identitas keislaman
yang khas dan unik serta
memiliki warisan spirit dan
patriotisme yang melegenda.
Hal ini terus digali hingga
menjadi model dalam sosial-
budaya dan sikap
keberagamaan umat Islam
(suatu identitas kultural).[8]
Pendidikan Sunan Kudus
Kanjeng Sunan Kudus
(selanjutnya disingkat KSK)
banyak berguru kepada Sunan
Kalijaga dan ia menggunakan
gaya berdakwah ala gurunya
itu yang sangat toleran pada
budaya setempat serta cara
penyampaian yang halus.
Didekatinya masyarakat
dengan memakai simbol-simbol
Hindu-Budha seperti yang
nampak pada gaya arsitektur
Masjid Kudus. Suatu waktu
saat KSK ingin menarik simpati
masyarakat untuk mendatangi
masjid guna mendengarkan
tabligh akbarnya, ia tambatkan
Kebo Gumarang (sapinya) di
halaman masjid. Masyarakat
yang saat itu memeluk agama
Hindu pun bersimpati, dan
semakin bersimpati selepas
mendengarkan ceramah KSK
mengenai “sapi betina” atau
Al-Baqarah dalam bahasa Al-
qurannya. Teknik lainnya lagi
adalah dengan mengubah
cerita ketauhidan menjadi
berseri, betujuan menarik rasa
penasaran masyarakat.
Dakwah Sunan Kudus
Beliau adalah Sunan Kudus
yang bernama asli Syekh Ja’far
Shodiq. Beliau pula yang
menjadi salah satu dari
anggota Wali Sanga sebagai
penyebar Islam di Tanah Jawa.
Sosok Sunan Kudus begitu
sentral dalam kehidupan
masyarakat Kudus dan
sekitarnya. Kesentralan itu
terwujud dikarenakan Sunan
Kudus telah memberikan
pondasi pengajaran
keagamaan dan kebudayaan
yang toleran.
Tak heran, jika hingga sekarang
makam beliau yang berdekatan
dengan Menara Kudus selalu
ramai diziarahi oleh masyarakat
dari berbagai penjuru negeri.
Selain itu, hal tersebut sebagai
bukti bahwa ajaran toleransi
Sunan Kudus tak lekang oleh
zaman dan justru semakin
relevan ditengah arus
radikalisme dan
fundamentalisme beragama
yang semakin marak dewasa
ini.
Dalam perjalanan hidupnya,
Sunan Kudus banyak berguru
kepada Sunan Kalijaga. Cara
berdakwahnya pun sejalan
dengan pendekatan dakwah
Sunan Kalijaga yang
menekankan kearifan lokal
dengan mengapresiasi
terhadap budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang
diperlihatkan oleh Sunan
Kudus terhadap pengikutnya
yakni dengan melarang
menyembelih sapi kepada para
pengikutnya. Bukan saja
melarang untuk menyembelih,
sapi yang notabene halal bagi
kaum muslim juga ditempatkan
di halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut
tentu mengundang rasa
simpatik masyarakat yang
waktu itu menganggap sapi
sebagai hewan suci. Mereka
kemudian berduyun-duyun
mendatangi Sunan Kudus
untuk bertanya banyak hal lain
dari ajaran yang dibawa oleh
beliau.
Lama-kelamaan, bermula dari
situ, masyarakat semakin
banyak yang mendatangi
masjid sekaligus mendengarkan
petuah-petuah Sunan Kudus.
Islam tumbuh dengan cepat.
Mungkin akan menjadi lain
ceritanya jika Sunan Kudus
melawan arus mayoritas
dengan menyembelih sapi.
Selain berdakwah lewat sapi,
bentuk toleransi sekaligus
akulturasi Sunan Kudus juga
bisa dilihat pada pancuran atau
padasan yang berjumlah
delapan yang sekarang
difungsikan sebagai tempat
berwudlu. Tiap-tiap
pancurannya dihiasi dengan
relief arca sebagai ornamen
penambah estetika. Jumlah
delapan pada pancuran
mengadopsi dari ajaran Budha
yakni Asta Sanghika Marga
atau Delapan Jalan Utama
yang menjadi pegangan
masyarakat saat itu dalam
kehidupannya. Pola akulturasi
budaya lokal Hindu-Budha
dengan Islam juga bisa dilihat
dari peninggalan Sunan Kudus
berupa menara. Menara Kudus
bukanlah menara yang
berarsitektur bangunan Timur
Tengah, melainkan lebih mirip
dengan bangunan Candi Jago
atau serupa juga dengan
bangunan Pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan
oleh Sunan Kudus sebagai
tempat adzan dan tempat
untuk memukul bedug setiap
kali datangnya bulan
Ramadhan. Kini, menara yang
konon merupakan menara
masjid tertua di wilayah Jawa
tersebut dijadikan sebagai
landmark Kabupaten Kudus.
Strategi (akulturasi) dakwah
Sunan Kudus adalah suatu hal
yang melampaui zamannya.
Melampaui zaman karena
dakwah dengan mengusung
nilai-nilai akulturasi saat itu
belumlah ramai dipraktikkan
oleh penyebar Islam di
Indonesia pada umumnya.
Kini, toleransi beragama
berada di titik nadir. Ironisnya,
toleransi beragama tak cuma
menjadi barang mahal tetapi
sudah terlalu langka. Dengan
jalan menghidupkan kembali
esensi serta spirit dakwah
Sunan Kudus, kiranya
masyarakat muslim bisa
mengembalikan lagi wajah
Islam yang ramah dan toleran
setelah sebelumnya dihinggapi
oleh stigma negatif.Ajaran
Toleransi Ala Sunan Kudus.[8]
Karya Sunan Kudus
Pada tahun 1530, Sunan Kudus
mendirikan sebuah mesjid di
desa Kerjasan, Kota Kudus,
yang kini terkenal dengan
nama Masjid Agung Kudus dan
masih bertahan hingga
sekarang. Sekarang Masjid
Agung Kudus berada di alun-
alun kota Kudus Jawa Tengah.
Peninggalan lain dari Sunan
Kudus adalah permintaannya
kepada masyarakat untuk tidak
memotong hewan kurban sapi
dalam perayaan Idul Adha
untuk menghormati
masyarakat penganut agama
Hindu dengan mengganti
kurban sapi dengan memotong
kurban kerbau, pesan untuk
memotong kurban kerbau ini
masih banyak ditaati oleh
masyarakat Kudus hingga saat
ini.
Wafatnya Sunan Kudus
Pada tahun 1550 M Sunan
Kudus meninggal dunia saat
menjadi Imam sholat Subuh di
Masjid Menara Kudus, dalam
posisi sujud. kemudian
dimakamkan di lingkungan
Masjid Menara Kudus.
Keturunan Sunan Kudus
Di antara keturunan Sunan
Kudus yang menjadi Ulama'
dan Tokoh di Indonesia adalah:
Syekh Kholil Bangkalan
Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini,
Syekh Bahruddin Azmatkhan
Ba'alawi Al-Husaini, dan Syekh
Shohibul Faroji Azmatkhan
Ba'alawi Al-Husaini .
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Terpopuler
-
YouTube saat ini tengah menjajal fitur baru yang bisa mengubah video yang diunggah ke situsnya ke dalam format tiga dimensi (3D), hanya deng...
-
Keiklasan dalam kehidupan susah untuk diterapkan dan susah pula untuk dijalankan karna ikhlas itu susah,kadang dimulut berkata ikhlas tapi ...
-
Sebagai pemilik bisnis online, meningkatkan penjualan Anda adalah salah satu prioritas utama Anda. Memiliki sebuah website dapat meningkatka...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar